Teori Pernikahan Ditinjau dari Persepsi Ilmu Psikologi
Apa saja teori pernikahan yang melandasinya dari segi ilmu psikologi? Menikah adalah prosesi sakral yang menyatukan dua insan manusia dalam bahtera rumah tangga. Sebagai salah satu fitrah manusia, yaitu mencintai dan memiliki pasangan, menikah adalah salah satu ajaran agama yang dianjurkan, apabila memang umur dan kondisi sudah mengharuskan.
Pada kesempatan kali ini, kosngosan akan intens membahas seputar pernikahan, bagaimana persepsi kalian yang belum menikah, terhadap pernikahan itu sendiri? Dan bagaimana psikologi memandang pernikahan sebagai sesuatu yang bisa mengubah pola pikir seseorang?
Kita pastinya sering melihat orang yang belum menikah punya banyak teori rumit dan banyak persepsi mengenai pernikahan dan pola relasi antara pria dan wanita yang ideal. Biasanya, kita merasa jauh lebih tahu mengenai hakikat seluk beluk pernikahan beserta problemnya daripada mereka yang sudah menikah.
Baca juga : 5 Cara Menghindari Diri dari Zina dan Pergaulan Bebas
Kita punya pandangan sendiri tentang apa itu rasa "bahagia" dan rasa "lengkap" sehingga kalau disarankan untuk langsung menikah saja, biasanya baper dan menyerang balik.
Padahal, semua itu hanya masalah persepsi yang berkecamuk di benak kita masing masing akibat melihat kondisi sekitarnya. Bukan hal yang betul-betul representatif mewakili keseluruhan realitas pernikahan di dunia ini
Realitasnya, pernikahan itu sederhana. Menikah hanya soal bagaimana menikmati sisa umur ini dengan orang yang penuh kekurangan di sana-sini. Akan tetapi kekurangannya itu justru jadi ruang bagi kita untuk masuk melengkapi sehingga kita jadi spesial bagi pasangan.
Sebagaimana pasangan kita juga akan mengisi kekurangan kita di sana-sini sehingga dia menjadi spesial bagi kita. Untunglah, Tuhan tidak menciptakan makhluk sempurna sehingga kita pasti hanya bisa menikah dengan sosok yang punya kekurangan di sana-sini, yang berarti dia masih bisa kita lengkapi.
Yang dibutuhkan pernikahan bukanlah segudang teori atau persepsi, tetapi kemampuan untuk mengerti dan memahami. Pernikahan juga bukan ajang diskusi, tapi ajang komunikasi dari hati ke hati.
Ilmu psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku, pola tindakan dan persepsi manusia mengenai gejala kejiwaan atau perbuaan manusia pada umumnya. Dalam pernikah, bila ditinjau dari segi psikologi maka bagaimana perbuatan, persepsi, harapan, dan perhatian dari pernikahan bagi ketenangan hati dan ketenangan jiwa pelakunya?
Menikah adalah wujud perealisasian, bukti adanya cinta antara kedua belah pihak. Maka dari psikologi, cinta adalah emosi utama yang mendasari berbagai emosi lainnya pada manusia. Seorang ahli Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving menjelaskan cinta merupakan seni yang harus dipelajari, dipraktekkan dan terus diasah.
Dalam pernikahan, diperlukan adanya persiapan matang sebelum menjalani rumah tangga, antara lain adalah
Keempat hal ini terkait erat dengan psikologi pasangan, terlebih pada kondisi mental. Khususnya bagi lelaki, yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga, harus memiliki mental kuat, memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang bijaksana.
Erickson menyatakan bahwa manusia yang memiliki kepribadian matang adalah mereka yang memiliki interpersonal dan intrapersonal yang baik, karena mereka tidak egoistis, kurang atau tidak mencurigai orang lain. Mereka juga mempunyai kemampuan mempertahankan diri sendiri (dalam Kartono 1980: 69: Bestari, 2016)
Jadi, pernikahan adalah bentuk awal dari perubahan psikologi manusia. Dari yang dulunya tidak memiliki tanggung jawab dalam rumah tangga, kini harus bekerja serius menafkahi keluarga. Atau dari yang dulunya bermalas-malasan, kini harus mempersiapkan sarapan dan mengatur rumah tangga.
Baca juga : Tips Menghabiskan Masa Muda dengan Baik dan Benar
Bagaimana, sudah mendapatkan alasan yang cukup untuk menikah? semoga saja kamu segera mendapatkan pasangan yang memang bisa melengkapi kekuranganmu. Jangan lupa, bagikan tulisan ini di media sosialmu supaya teman mu yang lain bisa tercerahkan mengenai pernikahan. Terimakasih sudah berkunjung di kosngosan.
Pada kesempatan kali ini, kosngosan akan intens membahas seputar pernikahan, bagaimana persepsi kalian yang belum menikah, terhadap pernikahan itu sendiri? Dan bagaimana psikologi memandang pernikahan sebagai sesuatu yang bisa mengubah pola pikir seseorang?
Kita pastinya sering melihat orang yang belum menikah punya banyak teori rumit dan banyak persepsi mengenai pernikahan dan pola relasi antara pria dan wanita yang ideal. Biasanya, kita merasa jauh lebih tahu mengenai hakikat seluk beluk pernikahan beserta problemnya daripada mereka yang sudah menikah.
Baca juga : 5 Cara Menghindari Diri dari Zina dan Pergaulan Bebas
Pernikahan dalam teori psikologi
Kita punya pandangan sendiri tentang apa itu rasa "bahagia" dan rasa "lengkap" sehingga kalau disarankan untuk langsung menikah saja, biasanya baper dan menyerang balik.
Padahal, semua itu hanya masalah persepsi yang berkecamuk di benak kita masing masing akibat melihat kondisi sekitarnya. Bukan hal yang betul-betul representatif mewakili keseluruhan realitas pernikahan di dunia ini
Realitasnya, pernikahan itu sederhana. Menikah hanya soal bagaimana menikmati sisa umur ini dengan orang yang penuh kekurangan di sana-sini. Akan tetapi kekurangannya itu justru jadi ruang bagi kita untuk masuk melengkapi sehingga kita jadi spesial bagi pasangan.
Sebagaimana pasangan kita juga akan mengisi kekurangan kita di sana-sini sehingga dia menjadi spesial bagi kita. Untunglah, Tuhan tidak menciptakan makhluk sempurna sehingga kita pasti hanya bisa menikah dengan sosok yang punya kekurangan di sana-sini, yang berarti dia masih bisa kita lengkapi.
Yang dibutuhkan pernikahan bukanlah segudang teori atau persepsi, tetapi kemampuan untuk mengerti dan memahami. Pernikahan juga bukan ajang diskusi, tapi ajang komunikasi dari hati ke hati.
Ilmu psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku, pola tindakan dan persepsi manusia mengenai gejala kejiwaan atau perbuaan manusia pada umumnya. Dalam pernikah, bila ditinjau dari segi psikologi maka bagaimana perbuatan, persepsi, harapan, dan perhatian dari pernikahan bagi ketenangan hati dan ketenangan jiwa pelakunya?
Menikah adalah wujud perealisasian, bukti adanya cinta antara kedua belah pihak. Maka dari psikologi, cinta adalah emosi utama yang mendasari berbagai emosi lainnya pada manusia. Seorang ahli Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving menjelaskan cinta merupakan seni yang harus dipelajari, dipraktekkan dan terus diasah.
Dalam pernikahan, diperlukan adanya persiapan matang sebelum menjalani rumah tangga, antara lain adalah
- Kematangan secara fisik
- Kematangan secara mental
- Kematangan secara finansial
- Kematangan secara sosial
Keempat hal ini terkait erat dengan psikologi pasangan, terlebih pada kondisi mental. Khususnya bagi lelaki, yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga, harus memiliki mental kuat, memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang bijaksana.
Erickson menyatakan bahwa manusia yang memiliki kepribadian matang adalah mereka yang memiliki interpersonal dan intrapersonal yang baik, karena mereka tidak egoistis, kurang atau tidak mencurigai orang lain. Mereka juga mempunyai kemampuan mempertahankan diri sendiri (dalam Kartono 1980: 69: Bestari, 2016)
Jadi, pernikahan adalah bentuk awal dari perubahan psikologi manusia. Dari yang dulunya tidak memiliki tanggung jawab dalam rumah tangga, kini harus bekerja serius menafkahi keluarga. Atau dari yang dulunya bermalas-malasan, kini harus mempersiapkan sarapan dan mengatur rumah tangga.
Baca juga : Tips Menghabiskan Masa Muda dengan Baik dan Benar
Bagaimana, sudah mendapatkan alasan yang cukup untuk menikah? semoga saja kamu segera mendapatkan pasangan yang memang bisa melengkapi kekuranganmu. Jangan lupa, bagikan tulisan ini di media sosialmu supaya teman mu yang lain bisa tercerahkan mengenai pernikahan. Terimakasih sudah berkunjung di kosngosan.